Oleh:
Randi Ramliyana, S.Pd.
Pendidikan merupakan salah satu
upaya untuk membangun dan meningkatkan mutu SDM. Peningkatan ini menuju era
globalisasi yang penuh dengan tantangan. Sehingga pendidikan disadari merupakan sesuatu yang sangat fundamenal bagi
setiap individu. Oleh karena itu, kegiatan pendidikan tidak dapat diabaikan
begitu saja, terutama dalam memasuki era persaingan yang semakin ketat, tajam, dan
berat pada era teknologi informasi saat ini.
Perkembangan teknologi informasi
pada saat ini sangat pesat. Banyak media informasi menawarkan kemudahan dalam
memberikan informasi dengan cepat kepada masyarakat. Media informasi, khususnya
media massa, selain memberikan banyak informasi tetapi juga sudah menjadi bagian
dari masyarakat kita, terutama pada era teknologi informasi saat ini. Media
massa dibagi menjadi dua, yaitu media elektronik dan media cetak. Keduanya
memiliki peranan yang penting dalam memberikan informasi dan mencerdaskan
masyarakat. Hal itu sejalan dengan upaya dari pendidikan untuk membangun dan
meningkatkan mutu SDM memasuki era persaingan.
Upaya pendidikan tidak terlepas
dari hakikat dan tujuan pendidikan itu sendiri. Pendidikan sangat penting bagi
setiap individu. Pendidikan secara singkat didefinisikan sebagai suatu kegiatan
untuk meningkatkan mutu SDM saat ini dan pada masa mendatang. Pendidikan itu proses pengubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau
kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan
pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik (KBBI, 2008).
Pendidikan sebagai proses
pengubahan sikap dan tingkah laku seseorang. Proses pengubahan yang dimaksud
adalah dalam perubahan tingkah laku dari learn
hot to know, to do, to be, and to live together. Proses pengubahan itu
terkait dengan transformasi budaya. Pendidikan itu usaha membudayakan anak
manusia. Karena mendidik sama artinya dengan menularkan, melestarikan, dan
mengembangkan budaya. Selanjutnya Langeveld menjelaskan bahwa pendidikan adalah
usaha memanusiakan anak manusia. Pendidikan
adalah usaha mengembangkan dan memfungsikan seluruh potensi manusia (baik
jasmani maupun rohani).
Pendidikan sebagai proses
pembentukan pribadi: karena mendidik adalah upaya pendewasaan anak. Secara
mental dewasa apabila seseorang telah bertanggung jawab. Bila mereka sudah
dewasa pendidikan menjadi tanggung jawab pribadi masing-masing (pembentuk diri
sendiri atau self orming atau building). Pembentukan kepribadian sama
asrtinya dengan pembentukan karakter, karena kepribadian adalah kesatuan
jasmani-rohani yang mampu menghadapi berbagai tantangan lingkungan. Berkarakter
adalah bertingkah laku sesuai dengan kaidah moral atau nilai-nilai.
Dalam UU RI No. 20 tahun 2003 pasal
3 tentang SISDIKNAS berbunyi, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermanfaat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Tujuan pendidikan selalu bersifat
normatif, artinya tujuan pendidikan selalu mengandung norma yang bersifat
memaksa. Memaksa di sini berarti tidak bertentangan dengan hakikat perkembangan
peserta didik dan bisa diterima oleh masyarakat sebagai nilai hidup yang baik. Tujuan pendidikan bersifat abstrak karena
memuat nilai-nilai. Sementara tujuan pendidikan nasional Indonesia bertumpu
pada falsafah negara Indonesia Pancasila.
Permasalahan pendidikan di Indonesia (sebagai suatu
subsistem)
Sebagai salah satu subsistem di
dalam negara/pemerintahan, keterkaitan pendidikan dengan subsistem lainnya
bahkan saling membutuhkan dan berketergantungan, saling melengkapi bahkan semua
subsistem memerlukan pendidikan. Jika membicarakan permasalahan pendidikan
Berlangsungnya kehidupan sosial
yang berlandaskan sekularisme telah menyuburkan paradigma hura-hura (hedonisme), serba boleh (premisivisme), materialistik (money oriented), dan lainnya di dalam
kehidupan masyarakat. Motif untuk menyelenggarakan dan mengenyam pendidikan,
baik oleh pemerintah maupun masyarakat, saat ini lebih kepada tujuan untuk
mendapatkan hasil-hasil materi ataupun keterampilan hidup belaka (yang tidak
dikaitkan dengan tujuan membentuk kepribadian). Hal ini dapat dilihat dalam UU
Sisdiknas No. 20/2003 Pasal 3 yang menunjukkan paradigma pendidikan nasional.
Dalam Bab VI menjelaskan tentang jalur, jenjang, dan jenis pendidikan yang
membedakan antara pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi,
keagamaan, dan khusus. Selain itu dapat pula dilihat dalam regulasi derivatnya
seperti PP tentang SNP No. 19/2005, UU Wajib Belajar dan UU BHP.
Dalam paradigma materialistik pun
indikator keberhasilan belajar murid setelah menempuh proses pendidikan dari
suatu jenjang pendidikan saat ini adalah dengan perlakuan yang sama secara
nasional pemerintah mengukurnya berdasarkan perolehan angka Ujian Nasional (UN)
yang dahulunya disebut Evaluasi Belajar Tahap Akhir (EBTANAS). Indikator itu pun saat ini hanya
pada tiga mata pelajaran umum,
matematika, bahasa Inggris, dan bahasa Indonesia, yang ketiganya berbasis pada
aspek kognitif (pengetahuan). Ditambah lagi dengan tiga mata pelajaran sesuai
dengan penjurusan pada tingkat SMA, untuk IPS, sosiologi, geografi, dan
ekonomi/akuntansi; IPA, biologi, fisika, dan kimia; sementara di tingkat SMP
ada penambahan mata pelajaran IPA. Pemerintah (Mendiknas) menilai bahwa UN
sangat tepat untuk dijadikan sebagai alat ukur standar pendidikan, dan hasil UN
sangat riil untuk dijadikan alat meningkatkan mutu pendidikan. Di sisi lain,
aspek pembentuk kepribadian yang utuh dalam diri murid, tidak pernah menjadi
indikator keberhasilan murid dalam menempuh suatu proses pendidikan.
Fenomena pergaulan bebas di
kalangan remaja (pelajar) yang di antara akibatnya menjerumuskan pelajar pada
seks bebas, terlibat narkotika, perilaku sarkasme/kekerasan (tawuran dan perpeloncoan),
dan berbagai tindakan kriminal lainnya (pencurian, pemerkosaan, dan pembunuhan)
yang sering kita dapatkan beritanya dalam tayangan berita kriminal di media
massa (TV dan koran khususnya), merupakan sebuah keadaan yang menunjukkan tidak
relevannya sistem pendidikan yang selama ini diselenggarakan dengan upaya
membentuk manusia Indonesia yang berkepribadian dan berakhlak mulia sebagaimana
dicita-citakan dalam tujuan pendidikan nasional sendiri (Pasal 2 UU No.
20/2003). Sebab, kenyataan justru memperlihatkan kontradiksinya. Murid sebagai
bagian dari masyarakat mendapatkan pendidikan di sekolah dalam rangka
mempersiapkan mereka agar lebih baik ketika menjalani kehidupan di tengah-tengah
masyarakat. Namun, karena kehidupan di tengah-tengah masyarakat secara umum
berlangsung dengan sekularisme yang makin meluas. Oleh karena itu, standar
kelulusan secara nasional bagi murid, hendaknya juga melibatkan assesment (penilaian) terhadap aspek
kepribadian (pola pikir dan perilaku) yang telah terbentuk dalam individu murid
berdasarkan hasil pendidikan di sekolahnya, selain juga assesment terhadap keterampilan yang telah dimiliki murid untuk
menempuh kehidupan di dalam masyarakat.
Peranan Media dalam Dinamika Pendidikan
Berdasarkan
permasalahan yang dihadapi pendidikan di Indonesia di atas, maka perlunya
sebuah solusi yang dapat menjawab tantangan tersebut. Karena pada saat ini pendidikan
di Indonesia lebih mementingkan prestasi kognitifnya, dibandingkan membentuk
manusia Indonesia yang berkepribadian dan berakhlak. Seperti yang
dicita-citakan oleh bangsa Indonesia di dalam tujuan pendidikan nasional. Perkembangan
teknologi informasi yang begitu pesat saat ini memiliki peranan yang sangat
besar dalam dinamika pendidikan. Khusunya pada media massa baik cetak maupun
elektronik yang dengan mudah dapat diakses oleh siapa pun. Media massa sebagai sarana dan saluran resmi alat komunikasi untuk menyebarkan
berita dan pesan kepada masyarakat luas (KBBI, 2008). Peranan media massa dalam
dinamika pendidikan seperti sebuah “pisau”. Di satu sisi media massa dapat
menjadi sarana pendidikan yang sangat efektif. Tetapi di satu sisi media massa
pun dapat menjadi salah satu penyebab bergesernya nilai-nilai moral dalam
kehidupan generasi muda saati ini. Pesatnya perkembangan teknologi informasi
saat ini dapat dimanfaatkan sebagai media untuk menyebarkan informasi mengenai
penanaman nilai-nilai moral kembali kepada masyarakat. Tidak hanya untuk
menyebarkan informasi saja, tetapi media massa juga harus mampu menginspirasi
masyarakat untuk kembali menanamkan nilai-nilai moral di dalam kehidupan.
Dengan begitu pemanfaatan media massa sebagai sarana pendidikan untuk
mengembalikan nilai-nilai tersebut adalah salah satu solusi sementara dari
beragam masalah di dunia pendidikan Indonesia saat ini. Karena pendidikan
bukanlah seperti mengisi ember, melainkan seperti menyalakan api (William
Butler Yeats, 1865-1939).
yah, ini isi paper yang hampir membuat saya frustasi
BalasHapusKenapa frustasi?
BalasHapussyok melihat siapa yang membuat. hahaha
Hapusupdate dong, update....
BalasHapus