Senin, 02 Juli 2012

PERANAN MEDIA DALAM DINAMIKA PENDIDIKAN




Oleh: Randi Ramliyana, S.Pd.

Pendidikan merupakan salah satu upaya untuk membangun dan meningkatkan mutu SDM. Peningkatan ini menuju era globalisasi yang penuh dengan tantangan. Sehingga pendidikan disadari  merupakan sesuatu yang sangat fundamenal bagi setiap individu. Oleh karena itu, kegiatan pendidikan tidak dapat diabaikan begitu saja, terutama dalam memasuki era persaingan yang semakin ketat, tajam, dan berat pada era teknologi informasi saat ini.
Perkembangan teknologi informasi pada saat ini sangat pesat. Banyak media informasi menawarkan kemudahan dalam memberikan informasi dengan cepat kepada masyarakat. Media informasi, khususnya media massa, selain memberikan banyak informasi tetapi juga sudah menjadi bagian dari masyarakat kita, terutama pada era teknologi informasi saat ini. Media massa dibagi menjadi dua, yaitu media elektronik dan media cetak. Keduanya memiliki peranan yang penting dalam memberikan informasi dan mencerdaskan masyarakat. Hal itu sejalan dengan upaya dari pendidikan untuk membangun dan meningkatkan mutu SDM memasuki era persaingan.
Upaya pendidikan tidak terlepas dari hakikat dan tujuan pendidikan itu sendiri. Pendidikan sangat penting bagi setiap individu. Pendidikan secara singkat didefinisikan sebagai suatu kegiatan untuk meningkatkan mutu SDM saat ini dan pada masa mendatang. Pendidikan itu proses pengubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik (KBBI, 2008).
Pendidikan sebagai proses pengubahan sikap dan tingkah laku seseorang. Proses pengubahan yang dimaksud adalah dalam perubahan tingkah laku dari learn hot to know, to do, to be, and to live together. Proses pengubahan itu terkait dengan transformasi budaya. Pendidikan itu usaha membudayakan anak manusia. Karena mendidik sama artinya dengan menularkan, melestarikan, dan mengembangkan budaya. Selanjutnya Langeveld menjelaskan bahwa pendidikan adalah usaha memanusiakan anak manusia. Pendidikan adalah usaha mengembangkan dan memfungsikan seluruh potensi manusia (baik jasmani maupun rohani).
Pendidikan sebagai proses pembentukan pribadi: karena mendidik adalah upaya pendewasaan anak. Secara mental dewasa apabila seseorang telah bertanggung jawab. Bila mereka sudah dewasa pendidikan menjadi tanggung jawab pribadi masing-masing (pembentuk diri sendiri atau self orming atau building). Pembentukan kepribadian sama asrtinya dengan pembentukan karakter, karena kepribadian adalah kesatuan jasmani-rohani yang mampu menghadapi berbagai tantangan lingkungan. Berkarakter adalah bertingkah laku sesuai dengan kaidah moral atau nilai-nilai.

Dalam UU RI No. 20 tahun 2003 pasal 3 tentang SISDIKNAS berbunyi, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermanfaat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Tujuan pendidikan selalu bersifat normatif, artinya tujuan pendidikan selalu mengandung norma yang bersifat memaksa. Memaksa di sini berarti tidak bertentangan dengan hakikat perkembangan peserta didik dan bisa diterima oleh masyarakat sebagai nilai hidup yang baik.  Tujuan pendidikan bersifat abstrak karena memuat nilai-nilai. Sementara tujuan pendidikan nasional Indonesia bertumpu pada falsafah negara Indonesia Pancasila.
Permasalahan pendidikan di Indonesia (sebagai suatu subsistem)
Sebagai salah satu subsistem di dalam negara/pemerintahan, keterkaitan pendidikan dengan subsistem lainnya bahkan saling membutuhkan dan berketergantungan, saling melengkapi bahkan semua subsistem memerlukan pendidikan. Jika membicarakan permasalahan pendidikan
Berlangsungnya kehidupan sosial yang berlandaskan sekularisme telah menyuburkan paradigma hura-hura (hedonisme), serba boleh (premisivisme), materialistik (money oriented), dan lainnya di dalam kehidupan masyarakat. Motif untuk menyelenggarakan dan mengenyam pendidikan, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, saat ini lebih kepada tujuan untuk mendapatkan hasil-hasil materi ataupun keterampilan hidup belaka (yang tidak dikaitkan dengan tujuan membentuk kepribadian). Hal ini dapat dilihat dalam UU Sisdiknas No. 20/2003 Pasal 3 yang menunjukkan paradigma pendidikan nasional. Dalam Bab VI menjelaskan tentang jalur, jenjang, dan jenis pendidikan yang membedakan antara pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Selain itu dapat pula dilihat dalam regulasi derivatnya seperti PP tentang SNP No. 19/2005, UU Wajib Belajar dan UU BHP.
Dalam paradigma materialistik pun indikator keberhasilan belajar murid setelah menempuh proses pendidikan dari suatu jenjang pendidikan saat ini adalah dengan perlakuan yang sama secara nasional pemerintah mengukurnya berdasarkan perolehan angka Ujian Nasional (UN) yang dahulunya disebut Evaluasi Belajar Tahap Akhir  (EBTANAS). Indikator itu pun saat ini hanya pada tiga mata pelajaran  umum, matematika, bahasa Inggris, dan bahasa Indonesia, yang ketiganya berbasis pada aspek kognitif (pengetahuan). Ditambah lagi dengan tiga mata pelajaran sesuai dengan penjurusan pada tingkat SMA, untuk IPS, sosiologi, geografi, dan ekonomi/akuntansi; IPA, biologi, fisika, dan kimia; sementara di tingkat SMP ada penambahan mata pelajaran IPA. Pemerintah (Mendiknas) menilai bahwa UN sangat tepat untuk dijadikan sebagai alat ukur standar pendidikan, dan hasil UN sangat riil untuk dijadikan alat meningkatkan mutu pendidikan. Di sisi lain, aspek pembentuk kepribadian yang utuh dalam diri murid, tidak pernah menjadi indikator keberhasilan murid dalam menempuh suatu proses pendidikan.
Fenomena pergaulan bebas di kalangan remaja (pelajar) yang di antara akibatnya menjerumuskan pelajar pada seks bebas, terlibat narkotika, perilaku sarkasme/kekerasan (tawuran dan perpeloncoan), dan berbagai tindakan kriminal lainnya (pencurian, pemerkosaan, dan pembunuhan) yang sering kita dapatkan beritanya dalam tayangan berita kriminal di media massa (TV dan koran khususnya), merupakan sebuah keadaan yang menunjukkan tidak relevannya sistem pendidikan yang selama ini diselenggarakan dengan upaya membentuk manusia Indonesia yang berkepribadian dan berakhlak mulia sebagaimana dicita-citakan dalam tujuan pendidikan nasional sendiri (Pasal 2 UU No. 20/2003). Sebab, kenyataan justru memperlihatkan kontradiksinya. Murid sebagai bagian dari masyarakat mendapatkan pendidikan di sekolah dalam rangka mempersiapkan mereka agar lebih baik ketika menjalani kehidupan di tengah-tengah masyarakat. Namun, karena kehidupan di tengah-tengah masyarakat secara umum berlangsung dengan sekularisme yang makin meluas. Oleh karena itu, standar kelulusan secara nasional bagi murid, hendaknya juga melibatkan assesment (penilaian) terhadap aspek kepribadian (pola pikir dan perilaku) yang telah terbentuk dalam individu murid berdasarkan hasil pendidikan di sekolahnya, selain juga assesment terhadap keterampilan yang telah dimiliki murid untuk menempuh kehidupan di dalam masyarakat.
Peranan Media dalam Dinamika Pendidikan
            Berdasarkan permasalahan yang dihadapi pendidikan di Indonesia di atas, maka perlunya sebuah solusi yang dapat menjawab tantangan tersebut. Karena pada saat ini pendidikan di Indonesia lebih mementingkan prestasi kognitifnya, dibandingkan membentuk manusia Indonesia yang berkepribadian dan berakhlak. Seperti yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia di dalam tujuan pendidikan nasional. Perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat saat ini memiliki peranan yang sangat besar dalam dinamika pendidikan. Khusunya pada media massa baik cetak maupun elektronik yang dengan mudah dapat diakses oleh siapa pun. Media massa sebagai sarana dan saluran resmi alat komunikasi untuk menyebarkan berita dan pesan kepada masyarakat luas (KBBI, 2008). Peranan media massa dalam dinamika pendidikan seperti sebuah “pisau”. Di satu sisi media massa dapat menjadi sarana pendidikan yang sangat efektif. Tetapi di satu sisi media massa pun dapat menjadi salah satu penyebab bergesernya nilai-nilai moral dalam kehidupan generasi muda saati ini. Pesatnya perkembangan teknologi informasi saat ini dapat dimanfaatkan sebagai media untuk menyebarkan informasi mengenai penanaman nilai-nilai moral kembali kepada masyarakat. Tidak hanya untuk menyebarkan informasi saja, tetapi media massa juga harus mampu menginspirasi masyarakat untuk kembali menanamkan nilai-nilai moral di dalam kehidupan. Dengan begitu pemanfaatan media massa sebagai sarana pendidikan untuk mengembalikan nilai-nilai tersebut adalah salah satu solusi sementara dari beragam masalah di dunia pendidikan Indonesia saat ini. Karena pendidikan bukanlah seperti mengisi ember, melainkan seperti menyalakan api (William Butler Yeats, 1865-1939).

4 komentar: